Senin, 03 Mei 2010

AKIDAH DAN IMAN

AQIDAH DAN IMAN?
xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoftcom:
office:office" />
( ماذاهو العقيدة والإيمان )
ARTI AQIDAH

(معني العقيدة)
Aqidah menurut bahasa berasal dari فعل (kata kerja) : عقيدة → عقدة → يعقد → عقد yang
kesemuanya bermakna :
الربط . 1 (ikatan), maksudnya ikatan yang mengikat keyakinan seorang mu’min
sehingga terjaga dari berbagai kepercayaan dan keyakinan yang bersifat khurafat dan
takhayyul.
الجزم . 2 (keyakinan yang mantap), yaitu keyakinan yang mantap kepada Allah
SWT terhadap rizki, kekuasaan maupun keadilan dan pertolongan-Nya.
العهد . 3 (janji), ialah janji untuk membela kebenaran dan menegakkan hukum
Allah SWT dimuka bumi ini.
Menurut istilah/terminologis : “Sesuatu yang dibenarkan oleh jiwa dan hatinya
merasa tenang karenanya serta menjadi suatu keyakinan bagi pemiliknya dan tidak
dicampuri keraguan sedikitpun.”

SUMBER2 AQIDAH ISLAMIYYAH
(مصدارالعقيدة الإسلامية)
1. Sumber aqidah Islamiyyah yang pertama dan paling utama adalah al-Qur’an
yang merupakan kalamullah yang sama sekali tidak terdapat keraguan didalamnya.
2. Sumber yang kedua adalah as-Sunnah an-Nabawiyyah yang merupakan
penjelas dan pemerinci dari al-Qur’an.
3. Sumber yang ketiga adalah al-Ijma’ yaitu kesepakatan para ulama baik salaf
(terdahulu) maupun khalaf (terkemudian) tentang sesuatu hal.
PILAR-PILAR AQIDAH ISLAMIYYAH
(أرآان القيدة الإسلامية)
1. Keyakinan (iman) kepada Allah SWT (QS 2/177, 4/136) sebagai pencipta,
pemilik, pemberi rizqi, penguasa, pengatur, pembimbing kita.
2. Keyakinan (iman) kepada Malaikat2 Allah SWT (QS 2/97,98,177,285;
4/136), sebagai makhluq yang diciptakan dari cahaya (nuur) dan tidak pernah
bermaksiat serta selalu taat pada perintah Allah.
3. Keyakinan (iman) kepada semua Kitab2 yang diturunkan Allah SWT (QS
2/177, 4/136) baik kepada Nabi Muhammad SAW maupun kepada Nabi2
sebelumnya, seperti Taurat Musa as, Injil Isa as, Zabur Daud as, dan shuhuf Ibrahim
as.
4. Keyakinan (iman) kepada para Rasul as (QS 2/98, 4/136), yaitu semua
manusia yang diutus oleh Allah SWT kepada ummatnya masing2 yang dalam al-
Qur’an disebutkan 25 orang jumlahnya yang wajib diimani.
5. Keyakinan (iman) kepada hari Akhir (QS 2/177, 4/135), yaitu adanya hari
pembalasan atas semua amal yang dilakukan manusia
6. Keyakinan (iman) kepada qadha’ dan qadar Allah SWT (QS 25/2), hadits
Jibril dari Umar ra (HR Muslim).
AQIDAH DAN IMAN
( ماذاهما العقيدة والإيمان )
ARTI IMAN
(معني الإيمان)
Secara bahasa, iman berarti membenarkan ( تصديق ), sementara menurut istilah
adalah : “Mengucapkan dengan lisan, membenarkan dalam hati dan mengamalkan
dalam perbuatannya.”
(الإقرار باللسان وتصديق بالجبان وعمل ب الأرآان)

KONSEKUENSI KEIMANAN
(لوازم الإيمان)
1. Mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya melebihi dari mencintai segala sesuatu
termasuk dirinya sendiri (QS 9/24, 2/165).
2. Mendengar dan mentaati semua yang datang dari Allah SWT dan rasul-Nya
(QS 24/51-52) tanpa merasa berat dan tanpa memilah2 (QS 33/36).
3. Ridha’ terhadap semua apa yang datang dari Allah SWT dan rasul-Nya (QS
4/56), baik hal tersebut disukainya maupun tidak disukainya, tanpa menghilangkan
usaha.
4. Loyalitas yang penuh kepada Allah SWT, rasul-Nya dan orang2 beriman (QS
2/257) dan tidak memberikan loyalitas kepada yang dibenci Allah SWT (QS 5/51,57-
58; 9/67).
5. Takut hanya kepada Allah SWT (QS 33/39, 35/28), takut tidak mendapat kasih
sayang-Nya dan takut bermaksiat kepada-Nya.
6. Berhukum dengan syari’at Allah SWT (QS 4/60, 6/114) dan menolak hukum
yang bertentangan dengan syari’at-Nya.
7. Selalu beramal shalih dan meninggalkan maksiat (QS 103/2-3) dan berjihad
dijalan-Nya untuk menegakkan kebenaran (QS 33/23, 49/15).

SIFAT ORANG2 YANG BERIMAN
(مواصفا ت المؤمنين)
1. Apabila disebut nama Allah SWT, maka bergetar hatinya kerena cinta, harap
dan takut kepada-Nya dan apabila dibacakan al-Qur’an maka selalu bertambah
keimanannya dan mereka selalu bertawakkal kepada-Nya (QS 8/2).
2. Mereka senantiasa mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizqi mereka
untuk orang fakir, miskin dan anak yatim (QS 8/3).
3. Beriman kepada rukun iman yang enam dengan keimanan yang sempurna tanpa
merasa ragu2 sedikitpun dan berjihad dengan harta dan jiwa raga mereka untuk
menegakkan kebenaran (QS 49/15).
HAL2 YANG DAPAT MENINGKATKAN KEIMANAN
(الأعمال التي يراسخ الإيمان)
1. Ilmu, yaitu dengan meningkatkan ilmu tentang mengenal Allah SWT, seperti
makna dari nama2-Nya, sifat2-Nya dan perbuatan2-Nya. Semakin tinggi ilmu
pengetahuan seseorang terhadap Allah dan kekuasaan-Nya maka semakin bertambah
tinggi iman dan pengagungan serta takutnya kepada Allah SWT (QS 35/28).
2. Merenungkan ciptaan Allah SWT, keindahannya, keanekaragamannya dan
kesempurnaannya maka kita akan sampai pada kesimpulan : Siapa yang merancang,
menciptakan dan mengatur semua ini ? Jawabannya hanyalah Allah ! Maka Ya Allah
tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia2 belaka, Maha Benar Engkau
maka pastilah janji-Mu untuk mengumpulkan kami pada hari Kiamat itu benar adanya
(QS 3/191-192).
3. Senantiasa meningkatkan ketaqwaan dan meninggalkan maksiat kepada-
Nya, karena setiap maksiat yang kita lakukan akan menjadi noda2 hitam yang
semakin menutupi hati kita dari cahaya Allah sehingga semakin jauh dari-Nya (QS
83/14)

BUAH KEIMANAN
(ثمارالإيمان)
1. Membebaskan jiwa kita dari perbudakan oleh manusia dan semua makhluq
menuju kemerdekaan yang hakiki yaitu penghambaan kepada Allah SWT saja (lih.
hadits Ruba’i bin Amir ra. utusan Rasulullah SAW dan panglima Rustum dari Persia).
2. Membangkitkan keberanian membela kebenaran dan tak takut mati serta
cinta syahid, sebab meyakini bahwa yang memberi umur, rizqi, manfaat dan bahaya,
menghidupkan dan mematikan hanya Allah SWT (QS 3/145, 4/78).
3. Merasa yakin tujuan hidupnya adalah keridhoan Allah SWT dan ia akan
mendapatkan berbagai kebaikan yang banyak di dunia sebelum kenikmatan di akhirat
kelak, berupa : Perlindungan-Nya (QS 2/257), petunjuk-Nya (QS 22/54, 64/11),
pertolongan-Nya (QS 40/51), penjagaan-Nya (QS 10/98), mengokohkan
kedudukannya (QS 24/55) dan datangnya barakah (kebaikan yang banyak) baik dari
langit maupun dari bumi (QS 7/96) untuknya.
4. Hidupnya berada dalam ketenangan lahir batin (QS 13/28, 48/4), karena ia
hidup dalam cahaya hidayah Allah SWT sehingga ia tidak menzhalimi orang lain
maupun dirinya sendiri.
Wamaa umiruu illa liya’budullaha mukhlishiina lahuddiina hunafaa’ …

TAUHID

FAKTOR-FAKTOR MUNCULNYA
ILMU TAUHID (ILMU KALAM)
Abdul Asep Syaiful Millah (084211001)

A. PENDAHULUAN
Kepercayaan sesuatu agama merupakan pokok dasarnya. Islam sebagai agama yang mengingkari agama-agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama Berhala merasa perlu untuk menjelaskan pokok dasar ajarannya dan segi-segi dakwah yang menjadi tujuannya, al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad saw banyak berisi pembicaraan tentang Wujud Tuhan, Keagungan, dan ke Esaan-Nya. Qur’an terutama menyebutkan untuk sifat-sifat Tuhan yang banyak sekali dan sebagian lagi menyatakan macam-macam hubungan dengan makhluknya seperti mendengar, melihat, Maha adil, menciptakan, memberi rijki, menghidupkan, mematikan dan sebagainya.
Ilmu tauhid belum dikenal pada masa Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya melainkan baru dikenal pada masa kemudiannya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu muncul dan setelah orang banyak suka membicarakan alam ghaib atau metafisika.

B. POKOK MASALAH
1. Masalah-Masalah Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
2. Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
3. Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf
4. Pengaruh Sosial Politik Terhadap Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid

C. PEMBAHASAN
  1. Masalah-Masalah Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Adalah aqidah islam karena sesuai dengan dalil-dalil akal pikiran dan dalil naqli, menetapkan keyakinan aqidah dan menjelaskan tentang ajaran-ajaran yang dibawa oleh junjungan Nabi Muhammad SAW, Bahkan merupakan kelanjutan dari ajaran para Nabi sebelumnya. Al-Qur’an sebagai kitab suci menggariskan ajaran-ajarannya diatas jalan yang terang yang belum pernah dilalui oleh kitab suci sebelumnya, yaitu: jalan yang memungkinkan orang di zaman ia diturunkan dan orang yang datang kemudian untuk melaluinya.
  2. Latar Belakang Munculnya Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Ilmu Kalam / ilmu tauhid dapat dibagi menjadi dua , yaitu faktor dari dalam ( intern) dan faktor dari luar ( extern)
a. Faktor Intern. Faktor-faktor intern yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam / ilmu tauhid ada tiga macam, yaitu:
1) Sesungguhnya Al-Qur’an itu sendiri disamping seruan dakwahNya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengannya juga menyinggung golongan-golongan dan agama, yang tersebar pada masa Nabi Muhammad SAW lalu Al-Qur’an itu menolaknya dan membatalkan pendapat-pendapatnya.
2) Sesungguhnya kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru , dan keadaan mulai stabil serta melimpah ruah rezekinya ,disinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama .
3) Masalah –masalah politik
b. Faktor Extern. Faktor-faktor extern ada tiga factor penting, yaitu:
1) Sesungguhnya kebanyakan orang-orang memeluk islam sesudah kemenangannaya, semula mereka memeluk berbagai agama, yaitu: Agama Yahudi, Kristen, Manu, Zoroaster, Brahmana, Sabiah, Atheisme dan lain-lain.
2) Sesungguhnya golongn islam yang terdahulu terutama golongan Mu’tazilah memutuskan perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah islamiah dan bantahan alasan orang-orang yang memusuhi islam.
3) Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan factor yang kedua. Yaitu sesungguhnya kebutuhan para mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi ) musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, maka mereka terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil manfaat logika, terutama dari segi Ketuhanan. Kita mengetahui An-Nadhami ( tokoh Mu’tazilah ) mempelajari filsafat Aristoteles dan menolak babarapa pendapatnya.
3. Perbedaan Metode Ilmu Kalam Dengan Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf
Yang akan dibicarakan disini ialah perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu keislaman lainnya, yaitu: Filsafat Islam, Fiqh dan Tasawuf.
4. Pengaruh Sosial Politik Terhadap Ilmu Kalam / Ilmu Tauhid
Apabila memperhatikan masalah khilafah ( bentuk pemerintahan ) dengan akal pikiran yang sehat, maka dapat disimpulkan bahwa masalah khilafah adalah soal politik belaka. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk Khilafah dengan sistem tertentu. Tetapi Agama hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum. Mengenai khilafah Ibnu Taimiyah memandang bahwa tata politik yang lahir di Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat adalah despensasi khusus dari Allah dan menyebutnya khilafah an-nubuwwah. Ia berpendapat bahwa kekholifahan ini juga memiliki sifat yang sui generic, yang tidak dapat terulang kembali didalam sejarah karena Nabi telah menyatakan; Kekholifahan ini, hanya bertahan selama tiga puluh tahun setelah itu yang ada hanyalah politik dalam pengertian yang umum.
Memang benar bahwa kholifah-kholifah dari dinasti-dinasti Umayah, Abbasiyah dan lain-lainnya menamakan diri mereka sebagai khulafah tetapi kaum muslimin terpaksa menerima hal itu karena mereka mamiliki kekuatan otoritas yang nyata dan mereka adalah “ Raja-raja kaum muslimin” dan “ Penguasa-penguasa diatas dunia “.Mereka tidak memerintah sebagai wakil-wakil Nabi, tetapi hanya tampil sesudah beliau wafat dan melaksanakan syariah sebagai hukum dasar Negara dengan semua upaya mereka dan oleh karena secara populer dijuluki sebagai khulafah. Jadi menurut Ibnu Taimiyah praktek-praktek yang telah dilakukan kaum muslimin di dalam sejarah tidak dapat di jadikan landasan filsafat politik tidak mau ada kesalahan dengan membenarkan kekuatan politik yang actual sebagaia otoritas yang dihibahkan oleh kholifah boneka tersebut. Karena tidak menemukan petunjuk mengenai teori teori konstitusionsl didalam Al Qur’an, Sunnah atau dalam praktek Khulafaur-Rasyidin, maka teori klasik mengenai kekhalifahan ditolaknya.
Qur’an sendiri, sebagai kitab utama agama Islam, menyerukan pemakaian akal pikiran dan memperhatikan alam semesta ini dengan panca indra, dan mencela keras taqlid (ikut – ikutan), terutama dalam soal- soal kepercayaan agama. Juga al-Qur’an banyak menyinggung dan membantah golongan-golongan atheist (dahriyyin), golongan musyrikin, mereka yang tidak mempercayai keputusan Nabi-nabi.
Karena itu kaum muslimin sendiri harus melepaskan akal pikirannya untuk menggali isi al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai penjelas dan juru penerangnya (al-Qur’an). Pada waktu Rasul masih hidup, apabila terdapat sesuatu kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, atau diketahui, maka mereka bisa menanyakannya langsung kepada Rasul.
Setelah Rasul wafat, timbullah persoalan, siapakah yang berhak memegang khilafat (pimpinan kaum muslimin)sesudahnya? Dengan berlalunya masa, muncullah apa yang disebut ”peristiwa Ali r.a kontra Usman r.a. “ yang telah banyak menimbulkan persengketaan dan perdebatan dikalangan kaum muslimin untuk di ketahui siapa yang benar dan siapa pula yang salah.
Pertama yang di perselisihkan ialah soal “Imamah” (pimpinan kaum muslimin) dan syarat- syaratnya, serta siapa yang berhak memegangnya .Golongan syiah (pengikut Ali r.a) memonopolikan Imamah tersebut kepada Ali r.a. dan keturunan-keturunannya, sedangkan golongan khawarij dan Mu’tazilah meganggap, bahwa orang yang berhak memangku jabatan Imamah ialah orang yang terbaik dan paling cakap, meskipun ia budak belian atau bukan orang Arab (Quraisy). Dalam pada itu, menurut mayoritas kaum muslimin, yang pendapatnya moderat, yang berhak memangku jabatan tersebut ialah orang yang paling cakap dari golongan Quraisy, karena Rasul sendiri mengatakan : “imam-imam terdiri dari orang Quraisy “(bukan imam dalam sholat).
Setelah terjadi pembunuhan atas diri Usman r.a (th.655 M) timbul perselisihan yang lain, yaitu sekitar prsoalan dosa besar, apa hakekatnya dan bagaimana hukum orang yang mengerjakannya. Apa yang di maksudkan dengan dosa besar mula-mula ialah pembunuhan tersebut. Kelanjutannya sudah barang tentu ialah perselisihan tentang iman, apa pengertian dan bagaimana batasanya, serta pertaliannya dengan perbuatan lahir. Perselisihan ini telah menimbulkan golongan- golongan Khawarij, Murjiah dan kemudian lagi golongan Mu’tazilah,
Dengan demikian, maka perselisihan dalam soal dosa besar (pembunuhan) sudah bercorak agama yang sebelumnya masih bercorak politik dan kemudian menjadi pembicaraan yang penting dalam Tauhid Islam, sebagaimana halnya dengan urusan khalifah dan Imamah, sedangkan soal-soal ini sebenarnya lebih tepat kalau di masukkan kedalam ilmu fiqih karena bertalian dengan hukum amalan lahir, bukan dalam bidang kepercayaan.
Akan tetapi karena pendapat beberapa golongan Islam dalam soal-soal tersebut hampir membawa mereka keluar dari dasar-dasar agama Islam, maka Ulama–ulama Tauhid Islam memasukan soal-soal tersebut kedalam pembahasan Ilmu Tauhid agar bisa di bahas dengan sebaik-baiknya, lepas dari rasa fanatik dan penguasaan hawa nafsu dan agar bisa jelas antara yang benar dan yang salah, untuk menjaga kemurnian agama.
Dalam daerah-daerah yang di datangi oleh kaum Muslimin, terutama di Irak, pada pertengahan abad hijriah, terdapat bermacam-macam agama dan peradaban, yaitu peradaban Persia dan India yang dibawa oleh orang-orang persi dan India yang masuk islam; peradaban Yunani yang dibawa oleh orang-orang Suriani dan oleh buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab, peradaban yang dibawa oleh orang-orang Masehi yang telah memfilsafatkan agamanya dan memakai filsafat Yunani sebagai alat untuk memperkuat kepercayaan mereka. Sebagai akibat pertemuan agama islam dengan peradaban-peradaban tersebut, maka sebagian kaum muslimin mulai mencetuskan fikiran-fikiran yang bercorak filsafat dalam soal-soal agama yang tidak dikenal sebelumnya, serta mereka mulai memberikan pembuktian pembenarannya dengan alasan-alasan logika.
Disamping itu ada juga yang menyatakan bahwa lahirnya ilmu kalam disebabkan karena perbedaan pendapat mengenai hukum, masihkah seorang muslim sebagai muslim setelah melakukan dosa besar? Ataukah menjadi kafir?.
Mengenai hal tersebut golongan khowarij menegaskan bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar tidak lagi sebagai muslim. Sebagai reaksi terhadap pandangan kaum khawarij yang keras itu timbullah kaum murji’ah. Menurut mereka orang islam yang berdosa besar tidak menjadi kafir, tetapi tetap mukmin. Soal dosa besar yang bersangkutan, mereka serahkan kepada keputusan Tuhan di hari perhitungan kelak. Sehubungan dengan masalah orang yang berbuat dosa besar sebagai diperdebatkan oleh kaum murji’ah dan khawarij diatas, timbul pula kaum mu’tazilah, sebagai aliran ketiga dalam ilmu kalam. Bagi mereka orang islam yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin.
Selain masalah orang islam yang berdosa besar sebagaimana disebutkan di atas, muncul pula masalah takdir Tuhan. Menurut paham kodariyah bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sedangkan menurut paham jabariyah bahwa Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia sejak awal, dan pada hakikatnya manusia itu tidak memiliki kehendak dan kudroh.

D. KESIMPULAN
Adanya perbedaan-perbedaan paham antara golongan atau paham khowarij, murji’ah dan muktajilah dalam menyikapi masalah seperti yang terjadi diatas. Akhirnya para Ulama ahli kalam (tauhid) merasa khawatir golongan-golongan tersebut didalam menentukan hukum dan menyikapi masalah-masalah yang terjadi, keluar dari nash yang sudah digariskan oleh al-qur’an dan hadits, terutama yang berkaitan dengan aqidah atau kepercayaan umat islam.
Maka lahirlah ilmu kalam sebagai landasan dan acuan didalam menyikapi masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah-masalah aqidah (kepercayaan), sehingga tidak keluar dari ajaran dan ketentuan-ketentuan yang telah dinashkan oleh hukum-hukum islam baik al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah saw.
Keyakinan yang wajib kita pegang ialah, bahwa agama islam adalah agama (kepercayaan) “Tauhid” (monotheisme), bukan agama yang berpecah-pecah dalam keprcayaan-kepercayaan itu. Akal adalah pembantunya yang paling utama dan naql (al-Qur’an dan Sunnah) adalah merupakan sendi-sendi yang paling kukuh. Dibalik itu hanyalah godaan-godaan setan belaka dan nafsu-nafsu orang yang haus kekuasaan.
Qur’an menjadi saksi bagi segala amal perbuatan manusia dan menjadi hakim yang menghukum benar atau salahnya masing-masing orang dalam amalnya.


E. PENUTUP
Sebagai mahasiswa theology ideal dan seyogyanya, dengan adanya karya yang sangat memberi andil besar dalam kajian akidah (tauhid) khususnya, yaitu “ilmu kalam (tauhid)” dapat memberi jalan, sehingga tidak ada lagi alasan untuk hanya ikut-ikutan (taqlid) dalam bertauhid. Ilmu tauhid adalah ilmu yang sangat penting dalam membangun keimanan yang sejati, Ilmu tauhid adalah merupakan tiang yang amat kokoh dari segala ilmu, menurut Syekh Muhammad Abduh.
Tujuan terakhir dari ilmu ini, ialah menegakkan suatu kewajiban yang sama-sama disepakati, yaitu mengenal Allah yang Maha Esa, Maha tinggi dengan segala sifat-sifat yang wajib melekat pada diri-Nya, serta menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang mustahil bagi Zat-Nya. Membenarkan para Rasul-Nya dengan keyakinan yang dapat menentramkan jiwa, dengan jalan berpegang teguh kepada dalil, bukan semata-mata menyerah kepada taqlid buta, sesuai yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul kepada kita. Ia menganjurkan kepada kita untuk melakukan penyelidikan dengan mempergunakan akal, kepada benda-benda alam yang terdapat di sekitar kita, menembus rahasia-rahasia alam itu sekedar yang dapat dicapai, sehingga timbul keyakinan terhadap apa-apa yang telah dianjurkan kita menyelidiki nya.
Demikian penulisan makalah yang dapat kami sajikan dan kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan dan pengembangan. Dan semoga ada manfaatnya. Amin.

DAFTAR PUSTAKA


Hanafi A, Theology Islam, (Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995), cet.6

Nata Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993)

Abduh Syekh Muhammad, Risalah Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992)























PENGERTIAN HADIS DAN SUNNAH

PENGERTIAN DASAR HADIS DAN SUNNAH
Abdul Asep Syaiful Millah (084211001)

I. PENDAHULUAN
Banyak diantara kita yang mungkin terjadi kesalah pahaman dalam menyebutkan tentang apakah itu yang dinamakan hadits, sunnah, khabar, atau atsar. Karena pada dasarnya terdapat perbedaan diantara keempat istilah tersebut.
Melalui makalah ini kami hanya akan menjelaskan tentang apakah yang dimaksud dengan hadits dan sunnah baik secara etimologis maupun secara terminologi dan menurut para Ulama Ahli, baik Ahli Hadits, Ushul maupun Ahli Fiqh, sehingga tidak terjadi kesalah pahaman mengenai pengertian hadits dan sunnah.
II. POKOK PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadis
2. Pengertian Sunnah
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis
1. Pengertian Hadis Secara Etimologis
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang baru) artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti حَدِيْثُ العَهْدِ فِى أْلإِسْلَامِ (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
2. Pengertian Hadis Secara Terminologi
Sedangkan pengertian hadis menurut istilah (terminologi), Para Ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.
a. Pengertian hadis menurut Ahli Hadis, ialah:
اَقْوَالُ النبي ص م وافعالهُ وَاَحْوَا لُهُ
Artinya: “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.
Ada juga yang memberikan pengertian lain, yakni:
مَاأُضِيْفَ إلى النبي ص م قَولاً أو فِعْلاً أوْتَقْرِيْرًا اَوْ صِفَةً
Artinya: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.

Sebagian Muhaditsin berpendapat bahwa pengertian hadis diatas merupakan pengertian yang sempit. Menurut mereka, hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. (hadis marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadis mauquf), dan tabi’in (hadis maqtu’), sebagaimana disebut oleh Al- Tirmisi:
Artinya: “Bahwasanya hadis itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu’, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang maukuf, yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan yang maqtu’ yaitu yang disandarkan kepada tabi’in.”
b. Pengertian hadis menurut para ulama ushul, sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah:
أَقْوَا لُهُ واَفْعَا لُهُ وتََقْرِِيْرَاتُهُ التى تَثْبُتُ الأََ حْكاَمُ و تُقَرَِّرُهاَ
Artinya: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.

Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatan hadis adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadis.
B. Pengertian Sunnah
1. Pengertian sunnah menurut bahasa (etimologis)
Menurut bahasa sunnah berarti:
اَلطَّرِ يْقَةُ مَحْمُوْْدَةً كَا نَتْ او مَذْمُوْ مَةً
Artinya: “Jalan yang terpuji atau yang tercela.”
Dalam kaitan sunnah yang diartikan dengan السيرة .atau…الطر يقة…Khalid bin ‘Utbah Al-Hadzi mengatakan:
فَلاَ تَجْزَ عَنَّ مِنْ سِيَرَةٍ اَنْتَ سَرَتَهَا فَاَوَّلُ رَاضٍ سُنَّةً مَنْ يَسِيْرُهَا
Artinya: “Janganlah kamu halangi perbuatan yang telah kau lakukan, karena orang yang pertama menyenangi suatu perbuatan adalah orang yang melakukannya”.
Bila kata sunnah disebutkan dalam masalah yang berhubungan dengan hukum syara’, maka yang dimaksudkan tiada lain kecuali segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, atau dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. Dan apa bila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan al-Sunnah, berarti yang dimaksudkan adalah al-Qur’an dan Hadis.
2. Pengertian sunnah menurut istilah (terminologi)
Sedang sunnah menurut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW. Secara garis besarnya mereka terkelompok menjadi tiga golongan: Ahli Hadis, Ahli Ushul dan Ahli Fikih.

a. Pengertian sunnah menurut ahli hadis adalah:
ما اثِرَ عنِ النبى ص م مِن قولٍ أو فعل أو تقرير أو صفة أو خَلْقِيّةٍ أوسِيَرَةٍ،سواء كان قبل البِعْثَةِ أو بعدها
Artinya: “Segala yang bersumber dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya”.

Jadi dengan definisi tersebut, para ahli hadis menyamakan antara sunnah dan hadis. Tampaknya para ahli hadis membawa makna sunnah ini kepada seluruh kebiasaan Nabi SAW. Baik yang melahirkan hukun syara’ maupun tidak. Hal ini bisa dilihat dari definisi yang diberikan mencakup tradisi Nabi sebelum masa terutusnya sebagai rasul.
Akan tetapi bagi ulama Ushuliyyin jika antara sunnah dan hadis dibedakan, maka bagi mereka, hadis adalah sebatas sunnah Nabi SAW saja. Ini berarti sunnah cakupannya lebih luas dibanding hadis.
b. Pengertian sunnah menurut ahli ushul mengatakan:
Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Beliau. Berdasarkan pemahaman seperti ini mereka mendefinisikan sunnah sebagai berikut: “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW. Selain al-Qur’an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum syara”.
c. Pengertian sunnah menurut ahli fikih sebagai berikut:
Artinya: “Segala ketetapan yang berasal dari Nabi SAW selain yang difardukan dan diwajibkan dan termasuk hukum (taklifi) yang lima.”

Para ulama ahli fikih apabila mereka berkata perkara ini sunnah, maksudnya mereka memandang bahwa pekerjaan itu mempunyai nilai syariat yang dibebankan oleh Allah SWT. Kepada setiap orang yang baligh dan berakal dengan tuntutan yang tidak mesti. Dengan kata lain tidak fardhu dan tidak wajib (menurut ulama hanafiyah) dan tidak wajib (menurut ulama fikih lainnya).

IV. KESIMPULAN
A. Pengertian Hadis
1. Pengertian Hadis Secara Etimologis
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang baru) artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti حَدِيْثُ العَهْدِ فِى أْلإِسْلَامِ (orang yang baru masuk/ memeluk islam).
2. Pengertian sunnah menurut istilah (terminologi)
a. Pengertian hadis menurut Ahli Hadis, ialah:
اَقْوَالُ النبي ص م وافعالهُ وَاَحْوَا لُهُ
Artinya: “Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
b. Pengertian hadis menurut para ulama ushul, sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah:
أَقْوَا لُهُ واَفْعَا لُهُ وتََقْرِِيْرَاتُهُ التى تَثْبُتُ الأََ حْكاَمُ و تُقَرَِّرُهاَ
Artinya: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.

B. Pengertian Sunnah
1. Pengertian sunnah menurut bahasa (etimologis)
Menurut bahasa sunnah berarti:
اَلطَّرِ يْقَةُ مَحْمُوْْدَةً كَا نَتْ او مَذْمُوْ مَةً
Artinya: “Jalan yang terpuji atau yang tercela.”
2. Pengertian sunnah menurut istilah (terminologi)
a. Pengertian sunnah menurut ahli hadis adalah:
ما اثِرَ عنِ النبى ص م مِن قولٍ أو فعل أو تقرير أو صفة أو خَلْقِيّةٍ أوسِيَرَةٍ،سواء كان قبل البِعْثَةِ أو بعدها
Artinya: “Segala yang bersumber dari Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudahnya”.
b. Pengertian sunnah menurut ahli ushul mengatakan:
Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Yang berhubungan dengan hukum syara’, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Beliau.
c. Pengertian sunnah menurut ahli fikih sebagai berikut:
Artinya: “Segala ketetapan yang berasal dari Nabi SAW selain yang difardukan dan diwajibkan dan termasuk hukum (taklifi) yang lima.”

V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Manzhur, Ibnu, Lisan Al-Arab,juz II, (Mesir: Dar Al-Mishriyah), hlm. 436
Ibn Abdillah Al-Tirmisi, Muhammad Mahfudz, Manhaj Dzawi Al-Nazhar, (Jeddah: Al-Haramain, 1974), cet.ke-3, hlm. 8
Al-Siba’i, Dr.Mustafa, Al-Sunnah Wa Makanatuha Fi Al-Tasyri’ Al-Islami, (Kairo: Dar Al-Salam, 1998), cet. Ke-I
Ajjaj Al-Khatib, Muhammad, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), hlm. 27

AL-QUR'AN SEBAGAI SUMBER HUKUM

AL-QUR’AN

Abdul Asep (084211001)

I. PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Petunjuk-petunjuk yang dibawanya pun dapat menyinari seluruh isi alam ini. Sebagai kitab bidayah sepanjang zaman, al-Qur’an memuat informasi-informasi dasar tentang berbagai masalah, baik informasi tentang hukum, etika, kedokteran dan sebagainya.

Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keluwesan isi kandungan al-Qur’an tersebut. Informasi yang diberikan itu merupakan dasar-dasarnya saja, dan manusia lah yang akan menganalisis dan merincinya, membuat keautentikan teks al-Qur’an menjadi lebih tampak bila berhadapan dengan konteks persoalan-persoalan kemanusiaan dan kehidupan modern.

II. POKOK PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Turunnya Al-Qur’an

2. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum

3. Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an

III. PEMBAHASAN

1. Pengertian Dan Turunnya Al-Qur’an

a. Pengertian al-Qur’an

Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:

1)Aspek Etimologis

Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran[1]. Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:

Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membaca. Maka bila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan tersebut” (al-Qiyamah: 17-18)

2)Aspek Terminologi

Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Diantaranya mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab.

Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari memberikan definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Muhammad untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub diantara dua sisi awal dan akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.[2]

Dalam definisi diatas tegas bahwa al-kitab adalah al-Qur’an itu sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu untuk membedakan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya seperti Taurat, Injil dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah yang wajib di imani oleh setiap muslim.[3]

As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.[4]

Dr. Subhi Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.

Dari beberapa definisi dan uraian diatas dapat diambil pengertian dan kesimpulan bahwa Al-Qur’an secara terminologi meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Kalamullah.

2. Dengan perantara malaikat Jibril.

3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

4. Sebagai mu’jizat.

5. Ditulis dalam mushaf.

6. Dinukil secara mutawatir.

7. Dianggap ibadah orang yang membacanya.

8. Dimulai dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan surah An-Nas.

9. Sebagai ilmu laduni global

10. Mencakup segala hakikat kebenaran.[5]

b. Turunnya al-Qur’an

Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah saw untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar. Turunnya al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik.

Turunnya al-Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang sebelumnya, al-Qur’an turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghibur nya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.

· Turunnya Al-Qur’an Sekaligus

Allah SWT berfirman:

Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah: 185)

!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& Îû Ï's#øs9 Íôs)ø9$# ÇÊÈ

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan nya (Al Quran) pada malam kemuliaan (malam lailatul qodr). (QS. al-Qodr: 1)


Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkan nya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. ad-Dukhan: 3).

Ketiga ayat diatas itu tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qodr dalam bulan ramadhan. Tetapi lahir (zahir) ayat-ayat itu bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasul, dimana turun kepadanya selama kurang lebih 23 tahun [6].

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk dan rahmat untuk dijadikan sebagai pedoman hidup, petunjuk dan rahmat.

2. PENJELASAN AL-QUR’AN TERHADAP HUKUM DAN ALQUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM

A. Penjelasan al-Qur’an Terhadap Hukum

Contoh Ayat-ayat yang menjelaskan hukum diantaranya:

. Uraian al-Qur’an tentang puasa ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi saw tiba di Madinah, karena ulama al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10 sya’ban tahun kedua hijriyah[7].

Allah swt berfirman:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).

Ayat ini yang menjadi dasar hukum diwajibkannya berpuasa bagi orang-orang yang beriman.

Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan shalat:

1. firman Allah SWT

Artinya: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa’:103).

Artinya: sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thahaa: 14).

Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Ankabut: 45)[8].

B. Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum

Al-qur’an adalah sumber hukum yang utama dalam Islam, sebagaimana dalam firman Allah:


Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).

Dalam ayat lain Allah berfirman:


Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, Akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al- Ahjab: 36).

Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadis serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.

Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum, seperti surat an-Nahl: 89, Ibrahim:1 dan Shad: 1

Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl: 89).

Artinya: Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS. Al- Purqan:1)[9].

3. SISTEMATIKA HUKUM DALAM AL-QUR’AN

Sebagai sumber hukum yang utama, maka al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar al-qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:

Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).

Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan prilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.

Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.[10]

Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an, garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:

1. Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan

2. Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.

3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat atau adat, mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.

Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yang pertama, amaliyah yang kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.[11]

IV. KESIMPULAN

1. Pengertian dan Turunnya Al-Qur’an

1. Pengertian al-qur’an

Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:

1) Aspek Etimologis, pengertian al-qur’an ditinjau dari aspek etimologis (bahasa) adalah bacaan.

2) Aspek Terminologi, pengertian al-Qur’an secara terminologi meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Kalamullah.

2. Dengan perantara malaikat Jibril.

3. Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

4. Sebagai mu’jizat.

5. Ditulis dalam mushaf.

6. Dinukil secara mutawatir.

7. Dianggap ibadah orang yang membacanya.

8. Dimulai dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan surah An-Nas

9. Sebagai ilmu laduni global

10. Mencakup segala hakikat kebenaran.

2. Turunnya Al-Qur’an

Turunnya al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad.

Turunnya al-Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang sebelumnya, al-Qur’an turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghibur nya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.

2. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum.

A. Penjelasan al-qur’an terhadap hukum, contoh ayat yang menjelaskan tentang wajibnya berpuasa di bulan ramadhan bagi orang-orang yang beriman (dalam surat al-baqarah: 183) dan diwajibkannya shalat bagi orang-orang mukalaf (dalam surat an-nisa: 103).

B. Al-qur’an sebagai sumber hukum, dijelaskan dalam surat al-maidah:44 dan al-Ahjab: 36.

3. Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an

Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an, garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:

1) Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan

2) Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.

3) Hukum-hukum Amaliyah

PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, Muassasah Al-Halaby, Kairo, hal. 147-148

As-Shabuni, M. Ali, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut, hal. 10

Efendi, Nur Ma’mun, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang: Bima Sejati. 2006, hlm. 15.

Hamzah, Muchotob, Studi Al-Qur’an Komprehensif, Gama Media 2003. hlm 1-2.

Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Pengantar Ilmu Fiqih, Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 36-37.

Khaliil Al-Qattaan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hlm 144-145.

Mustofa, Misbah, Shalat dan Tatakrama, al-Misbah, 2006, hlm. 65-67.

Saleh, Subhi, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19.

Shihab, M. Qurais, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007



[1] Subhi Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19.

[2] Muhammad Al-Khudori

[3] Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, Muassasah Al-Halaby, Kairo, hal. 147-148

[4] M. Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut, hal. 10

[5] Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur’an Komprehensif, Gama Media 2003. hlm 1-2.

[6]Mannaa’ Khaliil Al-Qattaan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007, hlm 144-145.

[7] M. Qurais Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007

[8] Misbah Mustofa, Shalat dan Tatakrama, al-Misbah, 2006, hlm. 65-67

[9] H. Ma’mun Efendi Nur, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang: Bima Sejati. 2006, hlm. 15.

[10] Ibid, hlm. 23-24

[11]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 36-37.


By: Abdul Asep

Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Jurusan Tafsir Hadis 2008